SERTIFIKASI KEAMANAN PANGAN BAGI INDUSTRI NASIONAL, PERLUKAH?

*) dimuat dalam rubrik OPINI, Beranda MITI (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia) 1 Maret 2013

published online at http://beranda.miti.or.id/?p=746

Tuntutan konsumen terhadap produk pangan semakin tinggi. Saat ini, konsumen tidak hanya menginginkan produk pangan yang enak, bergizi, dan halal (bagi konsumen muslim), namun juga aman. Isu tentang keamanan pangan sedang populer akhir-akhir ini. Sebab memang seharusnya makanan yang dikonsumsi membawa dampak yang baik dan tidak menyebabkan sakit atau cedera bagi orang yang mengkonsumsinya. Dengan demikian, merupakan suatu kewajiban bagi industri pangan untuk memastikan bahwa produk pangan yang ditawarkan kepada konsumennya tercemar bahan-bahan berbahaya sampai pada tingkat yang membahayakan kesehatan manusia.

Regulasi Keamanan Pangan

Sebagai upaya melindungi masyarakat dari produk pangan yang tidak aman, pemerintah telah menerbitkan UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan juga UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) merupakan lembaga yang berwenang untuk mengatur makanan yang beredar di Indonesia, sehingga setiap industri pangan yang mengedarkan produknya di Indonesia wajib mengikuti regulasi-regulasi yang ditetapkan oleh BPOM. Asumsinya, industri yang sudah terdaftar dan mengikuti aturan BPOM berarti produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi.

Isu keamanan pangan bukan hanya ada di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Sehingga saat ini banyak sistem manajemen keamanan pangan internasional yang beredar di dunia, antara lain ISO 22000, BRC Global Standard, IFS, SQF, FSSC 22000, dan HACCP. Sistem yang terakhir disebutkan, HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) merupakan suatu piranti untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir.  Sistem ini dikembangkan di Amerika sejak tahun 1971 dan sampai saat ini menjadi jantung bagi sistem manajemen keamanan pangan di dunia. Pertanyaan selanjutnya adalah sistem manajemen keamanan manakah yang harus dianut dan diterapkan oleh industri pangan nasional? Apakah cukup satu jenis sistem, misalnya HACCP saja, ataukah sebaiknya semua sistem diterapkan sekaligus?

Pentingnya Penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan

Setiap sistem manajemen keamanan pangan menawarkan konsep yang menjamin suatu produk aman untuk  dikonsumsi, sehingga sistem tersebut sangat baik apabila diimplementasikan secara benar di sebuah industri pangan. Industri yang telah menerapkan sistem manajemen keamanan pangan (misalnya HACCP) selanjutnya dapat mengurus sertifikat dengan mekanisme sertifikasi yang telah diatur (permohonan pengajuan oleh industri yang bersangkutan, dilanjutkan peninjauan kecukupan dokumen dan penilaian di lapangan oleh lembaga pemberi sertifikasi).

Bagi sebagian konsumen, mengkonsumsi produk dari industri yang telah mendapatkan sertifikat keamanan pangan merupakan hal yang penting, bahkan mutlak untuk dilakukan. Profil konsumen industri pangan dapat diartikan secara luas, bukan hanya masyarakat umum saja yang menjadi konsumen akhir, melainkan juga perusahaan ritel, eksportir, dan industri lain bisa jadi merupakan konsumen dari sebuah industri pangan. Justru konsumen seperti perusahaan ritel, eksportir, dan industri yang sering kali menuntut adanya sertifikat keamanan pangan. Sebagian perusahaan tersebut tidak bersedia menerima supply atau pasokan dari industri pangan yang tidak mempunyai sertifikat keamanan pangan. Dengan demikian sertifikat keamanan pangan menjadi faktor penting dalam pemasaran produk.

Tantangan Industri Pangan untuk Sertifikasi

Meskipun sertifikat keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting dalam pemasaran produk, industri pangan yang akan melangkah pada proses sertifikasi perlu mempertimbangkan untung dan ruginya. Untuk mengikuti proses sertifikasi seringkali bukan perkara yang mudah bagi suatu industri. Sebagai contoh pada proses sertifikasi HACCP, setelah mengidentifikasi bahaya yang mungkin timbul, industri harus mempersiapkan alat, personel, dan metode baku untuk menghilangkan bahaya tersebut; sekaligus menyiapkan sistem pemantauan, tindakan perbaikan, sistem verifikasi, dan sistem dokumentasi selama proses produksi berlangsung. Peralatan yang digunakan harus reliable dan dapat diandalkan dari waktu ke waktu; personel yang bertugas harus disiplin dan konsisten dalam melaksanakan metode dan sistem yang telah direncanakan.

Mempersiapkan peralatan, personel, metode, dan sistem seringkali menyita banyak waktu, tenaga, dan keuangan perusahaan. Ditambah lagi proses sertifikasi memerlukan biaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melakukan proses sertifikasi membutuhkan modal dan mengakibatkan pengeluaran yang tidak sedikit bagi perusahaan. Dalam prinsip ekonomi, tentu dijelaskan bahwa dengan modal tertentu yang dikeluarkan, harus didapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, seyogyanya sertifikat yang diperoleh perusahaan dengan jerih payah yang tidak sedikit, seharusnya mampu berperan dalam penjualan produk perusahaan ke konsumen. Jika hal tersebut tidak terjadi, maka dapat dikatakan proses sertifikasi yang dilakukan sia-sia. Apabila satu macam sertifikasi saja membutuhkan upaya yang tidak sedikit, maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan sertifikasi beberapa sistem keamanan pangan sekaligus. Tentunya pertimbangan pemilihan banyaknya dan jenis sertifikasi yang dilakukan didasarkan pada kebutuhan internal industri, tuntutan pelanggan, peraturan yang berlaku, serta sumber daya yang tersedia

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari uraian di atas dapat disimpulkan jaminan keamanan pangan mutlak harus dipenuhi oleh industri pangan untuk memastikan produk yang dihasilkan aman untuk konsumen. Bagi industri pangan yang beroperasi dan mengedarkan produk pangannya di Indonesia, wajib mengikuti regulasi yang diatur pemerintah melalui lembaga yang berwenang (BPOM). Sistem manajemen keamanan pangan yang berlaku secara internasional akan sangat baik apabila diadopsi dan diterapkan dalam industri pangan nasional, namun tidak semua sistem tersebut perlu dilakukan proses sertifikasi.

Proses sertifikasi sebaiknya dilakukan berdasarkan sasaran konsumen yang dituju, sebab kontinuitas penjualan produk kepada konsumen tersebut yang harus mampu menutup pengeluaran perusahaan untuk melakukan proses sertifikasi bahkan mampu menjamin keberlanjutan pemasaran produk yang berdampak pada teraihnya keuntungan yang optimal. Jika proses sertifikasi suatu sistem manajemen keamanan pangan (baik yang diakui secara nasional maupun internasional) dirasa tidak berdampak terhadap penjualan produk, keuntungan, dan keberlangsungan hidup perusahaan, maka perlu dilakukan kajian kembali untuk melakukannya.