KURIKULUM PENDIDIKAN BERVISI KEWIRAUSAHAAN: MEMBANGUN INDONESIA BEBAS PENGANGGURAN

Pada tahun 2007, BPS memberikan gambaran data yang cukup memprihatinkan. Menurut BPS (Februari, 2007) jumlah penduduk Indonesia yang 15 tahun ke atas sebanyak 162.352.048 orang. Dari jumlah sebanyak itu, yang mampu  bekerja sebanyak 108.131.058 orang. Tetapi yang telah bekerja hanya 97.583.141 orang. Sisanya tidak bekerja karena sedang sekolah, menjaga rumah, dan kegiatan lainnya, yaitu sebanyak 54.220.990 orang. Jumlah penganggur mencapai 10.547.917 orang, atau 9,75% dari angkatan kerja. (Muchammad-Ichsan, 2007).

Salah satu surat kabar nasional di Indonesia memberitakan pernyataan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Fasli Jalal yang menyebutkan bahwa saat ini di Indonesia ada 740.206 lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Mereka terdiri dari atas 151.085 lulusan D-1 ataupun D-2, 179.231 lulusan D-3 dan 409.890 lulusan universitas (Anonim[1], 2008).

Keadaan tersebut sungguh ironis dan memprihatinkan. Tujuh ratus empat puluh ribu orang sarjana dengan status pengangguran bukanlah jumlah yang sedikit. Banyak pertanyaan retoris yang dapat muncul menanggapi kasus tersebut. Bukankah seorang sarjana telah mengenyam pendidikan yang tinggi dan membutuhkan  waktu cukup lama untuk belajar dan dinyatakan lulus? Bagaimana bisa orang-orang seperti mereka bisa menganggur? Apa yang mereka dapat selama menempuh pendidikan? Seharusnya seorang sarjana mempunyai bekal yang cukup untuk mampu bekerja. Apa yang salah dengan pendidikan kita?

Kurikulum Pendidikan di Indonesia

Indonesia mengalami beberapa kali perubahan kurikulum sejak 1947, yaitu  kurikulum sederhana (1947-1964), pembaharuan kurikulum (1968 dan 1975), kurikulum berbasis keterampilan proses (1984 dan 1994), dan kurikulum berbasis kompetensi (2004 dan 2006)  (Herlanti, 2008).

Kurikulum disusun untuk menstandarkan materi-materi pendidikan yang diberikan dalam sekolah, sebagai pedoman sistematis yang wajib dilaksanakan bagi institusi-institusi pendidikan di Indonesia dalam materi pelajaran. Kurikulum akan menentukan materi yang wajib diberikan, urutan pemberiannya, indikator-indikator pemahaman siswa, dan banyak lagi. Dengan begitu banyak poin penting yang diatur dalam kurikulum, penyusunan kurikulum yang tepat sangat krusial untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Perubahan kurikulum pendidikan dari masa ke masa mengindikasikan bahwa pemerintah tidak mempunyai rencana jangka panjang untuk membangun kualitas pendidikan di Indonesia. Dapat dinilai bahwa hampir setiap periode kekuasaan atau setiap pergantian menteri pendidikan di Indonesia akan muncul kurikulum baru. Alasan klise yang dikemukakan oleh pemerintah pada setiap pergantian kurikulum adalah membawa sistem pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik dan menghasilkan generasi muda terpelajar yang dapat bersaing di tingkat dunia.

Kenyataan bahwa pada saat ini bangsa Indonesia sedang terpuruk, merupakan gambaran yang jelas bahwa pendidikan di Indonesia tidak menghasilkan keluaran yang optimal. Hal ini memang wajar terjadi, apabila sistem pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan, namun tanpa kejelasan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan perubahan kurikulum tersebut. Perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia secara  terperinci dapat dilihat pada Tabel 1.

Pelaksanaan Kurikulum 1950 , Kurikulum  1952 dan Kurikulum 1964 yang tersaji pada Tabel 1, menunjukkan secara jelas bahwa pemerintah akan mengarahkan generasi muda Indonesia untuk terampil. Luaran dari sekolah diharapkan mampu bekerja dengan ketrampilan yang diajarkan selama menempuh pendidikan, sehingga masa depannya akan terjamin. Hal ini sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia pada masa itu, ketika masih jarang orang yang bisa menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Perubahan kurikulum 1964 menjadi kurikulum 1968 dan seterusnya dapat dipandang secara positf maupun negatif, tergantung sudut pandangnya. Sisi positif dari perubahan kurikulum itu adalah pemerintah menginginkan kualitas pendidikan di Indonesia sejajar dengan negara-negara maju dengan menyamakan materi pelajaran dengan negara lain. Sedangkan sisi negatifnya adalah konsep pembelajaran yang muatan materi pelajarannya hanya bersifat teoritis, tak lagi mengkaitkannya dengan permasalahan faktual di lingkungan sekitar. Hal ini menjadi titik awal kemunduran kurikulum pendidikan di Indonesia.

Keadaan diperburuk dengan pola pengajaran pada lembaga-lembaga pengajaran di Indonesia yang cenderung mengarahkan peserta ajar untuk sekadar tahu dan hapal mengenai hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan agar hasil ujiannya baik (Razali-Ritonga, 2008). Budaya pendidikan di Indonesia yang bersifat ”guru memberi, murid menerima” atau ”guru memerintahkan, murid melaksanakan” turut mendukung keterpurukan sistem pendidikan.  Masalah yang sering terjadi adalah, selama proses belajar  mengajar, para guru memotivasi muridnya agar rajin belajar, banyak menghapal, mendapat nilai bagus dalam ulangan, menjadi pintar, agar ketika lulus cepat mendapat pekerjaan . Akibat yang ditimbullkan dari budaya pendidikan yang demikian itu adalah pembentukan karakter siswa yang pasif, tidak dapat mengembangkan pikiran, bermental kuli (mengerjakan sesuatu harus dengan perintah), dan akhirnya ketika lulus dari sekolah berorientasi menjadi pegawai.

Secara tidak sadar mayoritas generasi muda rajin belajar agar segera lulus  dan diterima untuk bekerja menjadi pegawai baik negeri maupun swasta. Para pelajar bersusah payah belajar untuk menjadi pintar, untuk menjadi yang terbaik, dan akhirnya akan cepat mendapat pekerjaan. Padahal kebanyakan dari mereka belum dapat memahami apa esensi dari setiap mata pelajaran yang mereka pelajari serta belum dapat memahami bagaimana aplikasi pelajaran yang mereka peroleh selama sekolah untuk bekerja, apalagi untuk mengembangkan diri dan masyarakatnya. Suatu setting yang perlu diperbaiki dari pendidikan kita.

Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, bila memang pemerintah selalu mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi para lulusan untuk bekerja. Masalah  akan muncul ketika para pelajar yang telah lulus atau sarjana di negeri ini mencari pekerjaan, dan tidak mendapatkannya. Jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia semakin lama semakin meningkat, akan tetapi tidak dibarengi oleh munculnya lapangan pekerjaan. Maka yang terjadi adalah semakin tinggi pula angka sarjana pengangguran di Indonesia.

Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan

Di kota Yogyakarta, beberapa waktu yang lalu sekelompok mahasiswa menggelar aksi demonstrasi menuntut pemerintah agar mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi rakyat. Ini adalah bukti nyata bahwa banyak keluaran pendidikan yang mempunyai sikap pasif. Sikap pasif tersebut ditunjukkan dengan cara menunggu dan menuntut pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dari kasus tersebut, beragam pertanyaan retoris dapat muncul. Hanya kemampuan demonstrasi saja kah yang dimiliki mahasiswa? Kenapa mereka menghabiskan waktu dan energi untuk menggelar demonstrasi? Kenapa mereka tidak memanfaatkan waktu dan energi untuk memikirkan bagaimana mereka dapat menyediakan lapangan pekerjaan untuk rakyat tanpa harus mengandalkan pemerintah? Kenapa mereka tidak mencoba berwirausaha sehingga mampu menolong dirinya sendiri dan rakyat yang membutuhkan pekerjaan? Bukankah ilmu.yang mereka dapatkan cukup untuk melakukan hal itu? Kenapa hal itu tidak mereka lakukan? Serangkain pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab.

Berangkat dari definisi “pendidikan” adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Kasus demonstrasi mahasiswa di atas menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum mampu mengajarkan dan mendidik generasi muda untuk menjadi dewasa. Kedewasaan peserta didik (mahasiswa) dapat dilihat dari cara pendang mereka dalam menghadapi suatu permasalahan. Demonstrasi menuntut pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan bukan merupakan sikap dewasa dan terpelajar. Dengan kata lain pendidikan di Indonesia belum berhasil.

Kasus mentalitas bangsa Indonesia (mahasiswa) yang hanya menunggu lapangan pekerjaan, dan bukan menciptakan lapangan pekerjaan adalah salah satu kegagalan pendidikan di negara ini, namun hal tersebut bukan sepenuhnya kesalahan mahasiswa / generasi muda. Semua kembali kepada pemerintah, bagaimana selama ini pemerintah menciptakan sistem pendidikan di Indonesia. Banyak pelajar di negeri ini tidak mempunyai kemampuan, kemauan atau bahkan keduanya, untuk menjadi mandiri tanpa mengandalkan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan Indonesia mendidik generasi muda untuk menjadi pegawai dan bermental kuli, seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

Bagaimana merubah paradigma pendidikan di Indonesia agar menjauhkan diri dari mental kuli sehingga generasi muda siap untuk mandiri tanpa harus mengandalkan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah?  Salah satu solusi yang ditawarkan adalah perubahan sistem pendidikan yang dimanifestasikan dalam bentuk perbaikan kurikulum, yaitu kurikulum tepat guna yang mampu menyelesaikan persoalan negara ini.

Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan dapat diartikan sebagai kurikulum pendidikan yang mengajarkan kemauan dan kemampuan kewirausahaan kepada peserta didik sejak duduk di bangku Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi secara terintegrasi, sehingga keluarannya diharapkan dapat berwirausaha, mandiri, serta menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya dan masyarakat.

Tujuan akhir dari gagasan Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan ini adalah untuk mengatasi banyaknya pengangguran di Indonesia. Gagasan kurikulum ini sejalan dengan pendapat pengusaha nasional Indonesia, Ir. Ciputra, yang mengetakan bahwa wirausaha merupakan salah satu cara menghilangkan kemiskinan dan pengangguran (Reh-Atelem-Susanti,2008.). Setiap keluaran dari pendidikan, diharapkan mempunyai kemauan dan kemampuan sesuai dengan bidangnya masing-masing untuk mengembangkan diri dan masyarkat dengan cara berwirausaha. Dengan kata lain, sistem pendidikan ini akan memperbaiki mental generasi muda agar tidak menggantungkan lapangan pekerjaan kepada pemerintah serta melatih potensi generasi muda terpelajar untuk mengembangkan sumber daya di sekitarnya untuk kemakmurannya sendiri dan tentu akan berimbas pada kemakmuran masyarakat dan lingkungannya.

Konsep Pendidikan

Membangun kurikulum pendidikan yang bervisi kewirausahaan dan menghasilkan luaran yang diharapkan tidak mudah. Menghasilkan luaran yang andal dan dapat diandalkan harus dilakukan secara terintegrasi sejak bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Kemauan dan kemampuan setiap generasi muda harus dibangun dan dilatih dengan konsep pembelajaran yang berkesinambungan. Untuk mecapai hal tersebut konsep pendidikan dan pelaksanaannya dapat diadopsi dari kurikulum-kurikulum terdahulu yang telah dilaksanakan di Indonesia.

Konsep pembelajaran Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan dapat diadopsi dari kurikulum 1968, yaitu correlated subject curriculum, yang berarti materi pelajaran pada tingkat bawah mempunyai korelasi dengan kurikulum sekolah lanjutan. Pembelajaran kewirausahaan diawali dengan memberikan pengetahuan dasar tentang kewirausahaan di tingkat sekolah dasar, selanjutnya dikembangkan sesuai tataran pendidikannya. Pelaksanaanya dapat diadopsi dari kurikulum 1994 yaitu Cara Belajar Siswa Aktif  (CBSA). Kurikulum tersebut membimbing  siswa agar mampu mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Sedangkan luaran yang ingin dicapai dalam Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan ini dapat diadopsi dari Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu setiap peserta didik mempunyai kompetensi yang standar dan dapat diandalkan oleh pemerintah. Proses untuk mencapai kompetensi itu adalah “learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be”.

Ada beberapa gagasan yang ditawarkan untuk membangun kurikulum yang terintegrasi tersebut. Salah satunya tersaji pada Gambar 1.

 

a. Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah

Materi pendidikan untuk siswa SD/MI diprioritaskan untuk pembentukan pola pikir dan motivasi pada setiap bidang profesi. Menurut Jean Piaget, perkembangan kognitif anak usia SD tergolong pada tahap concrete-operational. Pada fase ini kemampuan berpikirnya masih bersifat intuitif, yakni berpikir dengan mengandalkan ilham (Anonim[2],2003).

Dalam periode ini, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berpikir). Kemampuan satuan langkah berpikir ini berfaedah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri.  Anak sudah berkembang ke arah berpikir konkrit dan rasional. Piaget menamakannya sebagai masa operasi konkrit, masa berakhirnya berpikir khayal dan mulai berpikir konkrit. (Anonim[2],2003)

Demikian, pada masa peralihan masa berpikir khayal dan mulai berpikir konkrit, anak didik sebaiknya tidak diarahkan pada profesi tertentu. Profesi pilot dan dokter merupakan khayalan dan cita-cita anak yang sangat populer (Nizar-Muhammad, 2007). Akan tetapi perlu diingat bahwa aspek kewirausahaan pada profesi tersebut sangat kecil. Apabila sejak kecil anak didik sudah terpatri pada cita-cita tersebut, maka cepat atau lambat potensi anak didik untuk menjadi mandiri dan berwirausaha semakin berkurang. Padahal pikiran siswa SD/MI masih bisa dibentuk sesuai dengan kebutuhan lingkungan, sehingga pola pikir tentang cita-cita anak untuk menjadi wirausahawan harus segera dibentuk. Pola pikir siswa SD/MI lebih terbuka dan mau menerima perubahan dari luar. Mereka cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan, sehingga akan lebih mudah bagi pendidik untuk memberikan motivasi dan pola pikir tentang keiwirausahaan  secara efektif.

Jiwa kewirausahaan itu merupakan suatu aspirasi terhormat (noble aspiration) dan lazimnya dimulai dari tekad, imajinasi dan informasi para pengambil prakarsan (Bob-Widyahartono,2008). Pendapat tersebut patut dijadikan rujukan para pendidik, bahwa siswa SD/MI harus dididik jiwa kewirausahaannya sejak dini dengan mengembangkan tekad, kreativitas dan imajinasi yang secara alami dimiliki oleh anak-anak seusia mereka.

b. Sekolah Menengah Pertama / Madrasah Tsanawiyah

Untuk menjadi wirausahawan andal, dibutuhkan karakter seperti pengenalan terhadap diri sendiri (self awareness), kreatif, mampu berpikir kritis, mampu memecahkan permasalahan (problem solving), dapat berkomunikasi, mampu membawa diri di berbagai lingkungan, menghargai waktu (time orientation), empati, mau berbagi dengan orang lain, mampu mengatasi stres, dapat mengendalikan emosi, dan mampu membuat keputusan. (Anonim[3],2008).

Menurut Piaget, pada  masa remaja awal (prepuber) daya pikir anak SMP sudah mencapai tahap operasi formal. Pada usia ini secara mental anak telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain, berpikir operasi formal lebih bersifat hipotetis dan abstrak serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah daripada berpikir konkrit. (Anonim[2], 2003)

Implikasi pendidikan atau bimbingan dari periode berpikir operasi formal ini, adalah perlunya disiapkan program pendidikan atau bimbingan yang memfasilitasi perkembangan kemampuan berpikir siswa. Upaya yang dapat dilakukan antara lain (1) penggunaan metode mengajar yang mendorong anak untuk aktif bertanya, mengemukakan gagasan, atau mengujicobakan suatu materi; dan (2) melakukan dialog, diskusi, atau curah pendapat dengan siswa tentang masalah-masalah sosial, baik itu menyangkut geografi, sejarah maupun ekonomi (Anonim[2], 2003).

Perkembangan psikologi remaja tersebut yang harus ditangkap oleh pendidik untuk mengajarkan kewirausahaan kepada anak didik. CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) diperkirakan metode pembelajaran yang tepat bagi siswa SMP/MI. CBSA didasarkan pada disertasi Conny R. Semiawan, yang didasarkan pada pandangan Sikortsky, yang menelorkan Zone of Proximality Development. Teori yang mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai potensi dan potensi itu dapat teraktualisasi melalui ketuntasan belajar tertentu. Tetapi antara potensi dan aktualisasi terdapat daerah abu-abu (grey area), guru berkewajiban menjadikan daerah abu-abu ini dapat teraktualisasi. Caranya dengan belajar kelompok. (Razali-Ritonga, 2008).

Kegiatan diskusi merupakan salah satu kegiatan belajar kelompok yang akan mampu mengaktualisasikan potensi anak didik. Diskusi dan pelatihan pembuatan rencana bisnis adalah wujud dari kegiatan pembelajaran aktif (CBSA) yang akan mengembangkan potensi siswa dalam berwirausaha. Potensi kewirausahaan yang telah teraktualisasi melalui diskusi dan pelatihan pembuatan rencana bisnis akan memudahkan siswa untuk mengaplikasikan kemampuan kewirausahaannya jika siswa tersebut telah lulus.

Dengan metode diskusi pula, siswa akan belajar berkomunikasi, berpikir kritis, mampu memecahkan masalah secara bersama, dan berbagi pendapat dengan orang lain. Karakter ini akan terbentuk pada siswa, sehingga siswa tersebut akan terlatih untuk menjadi wirausahawan tangguh.

Berdiskusi aktif dalam kelompok dan membuat rencana bisnis tentang kewirausahaan, akan menumbuhkan kemampuan anak didik untuk memulai usaha dan secara otomatis hal tersebut akan menumbuhkan minat siswa untuk berwirausaha. Metode pembelajaran kewirausahaan dengan kegiatan diskusi diperkirakan justru mampu menjadi ajang refreshing bagi siswa. Dapat kita lihat, bahwa kurikulum pendidikan SMP/MTs di Indonesia mengharuskan siswa  mempelajari banyak disiplin ilmu. Kegiatan diskusi akan mengatasi kejenuhan anak didik dalam belajar (menghapal) yang selama ini menjadi budaya pendidikan di Indonesia

c. Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah

Salah satu kekurangan terbesar dalam kurikulum pendidikan Indonesia adalah kurang fokus terhadap cabang ilmu tertentu sesuai dengan bakat anak didik. Pelajar di Indonesia diharuskan mempelajari banyak bidang ilmu tanpa memperhatikan bakat dan minatnya (Muh. Faizin Adi P, 2008).

Pembelajaran kewirausahaan di tingkat SMA/MA diawali dengan penelusuran minat dan bakat siswa terhadap bidang tertentu, dilanjutkan dengan pengembangan minat dan bakat siswa tersebut ke arah kegiatan kewirausahaan. Sebagai contoh, kelompok siswa yang suka memasak diarahkan untuk merencanakan bisnis kue, kelompok siswa yang suka desain grafis diarahkan untuk merencanakan bisnis stiker atau pin, kelompok siswa yang suka olahraga diarahkan untuk meencanakan bisnis jual beli peralatan olahraga, kelompok siswa yang suka dengan musik diarahkan untuk merencanakan bisnis studio musik, kelompok siswa yang suka belajar (study oriented) diarahkan untuk membuka bimbingan belajar, dan sebagainya.

Berdasarkan dampaknya kepada siswa, kurikulum dibedakan menjadi lima tataran, yaitu kurikulum ideal, formal, instruksional, operasional, dan eksperiensial. Kurikulum eksperiensial adalah makna dari pengalaman belajar yang terhayati oleh siswa sementara mereka terlibat dalam berbagai kegiatan dan peristiwa pembelajaran yang dikelola oleh guru dan sekolah. Oleh karena itu, kurikulum eksperiensial lah yang membuahkan dampak, dalam bentuk perubahan cara berpikir dan bertindak para siswa yang bersangkutan (Ferry T Indratno,2007).

Sebuah gagasan bisnis akan tetap menjadi sebuah gagasan jika tidak ada tindakan untuk mewujudkannya. Dari rencana bisnis yang telah dibuat sesuai minatnya, anak didik didorong untuk mewujudkannya dengan kemampuan semaksimal mungkin. Hasil dari kegiatan tersebut dipresentasikan antar kelompok secara kontinyu untuk berbagi pengalaman berwirausaha. Tahap yang dilakukan sederhana, yaitu pembuatan rencana bisnis, mencari investor jika diperlukan, pelaksanaan, dan presentasi.

Target yang dicapai pada praktek kewirausahaan ini tidak perlu terlalu tinggi. Keberhasilan atau kegagalan bisnis dari praktek kewirausahaan ini bukan hal terpenting. Hal terpenting adalah siswa mampu belajar dari keberhasilan atau kegagalan menjalankan bisnis dengan cara sharing melalui diskusi/presentasi. Sebagai contoh, jika sekelompok siswa yang ingin mendirikan studio musik hanya mampu melakukan pembuatan rencana bisnis namun gagal meraih investor sampai akhir masa pembelajaran, maka melalui diskusi/presentasi kelompok tersebut maupun kelompok lain dapat belajar begaimana membuat rencana bisnis agar yang baik agar dapat meraih investor.  Melalui sharing pula wawasan anak didik akan semakin luas dan semakin terlatih untuk melihat peluang bisnis.

Praktek kewirausahaan yang berhasil akan menumbuhkan kemauan dan kemampuan siswa untuk berwirausaha jika lulus. Dengan demikian generasi muda negeri ini mualai terbiasa untuk tidak mengandalkan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah. Bagi lulusan SMA/MA yang tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, praktek kewirausahaan yang diperoleh ketika sekolah merupakan bekal yang cukup untuk menciptakan pekerjaan.

Seseorang tidak perlu predikat sarjana untuk menjadi pengusaha, tetapi dengan latar belakang pendidikan akademik, diduga banyak peluang akan terbuka karena lebih luas wawasannya dalam melihat peluang (Anonim[1], 2008).

d. Perguruan Tinggi / Akademi

Secara konseptual, kewirausahaan meliputi kegiatan secara terarah atau urutan keputusan yang dilakukan oleh orang perorangan atau suatu kelompok individu, untuk memprakarsai, mengorganisasi atau meluaskan unit bisnisnya untuk berproduksi, atau distribusi barang atau jasa yang dikategorikan ekonomis (Bob Widyahartono MA ,2008).

Pembelajaran kewirausahaan di tingkat perguruan tinggi diarahkan untuk memprakarsai, mengorganisasi, mengembangkan wirausahanya secara nyata (berorientasi pada laba) berdasarkan bidangnya masing-masing. Sebagai contoh, mahasiswa jurusan statistik dapat diarahkan untuk membuka bisnis jasa pengolahan data, mahasiswa jurusan sastra dapat diarahkan untuk membuka jasa penerjemahan, mahasiswa jurusan ilmu komputer dapat diarahkan untuk membuka bisnis service komputer atau konsultan website, serta mahasiswa jurusan teknologi pangan dapat diarahkan untuk membuka bisnis makanan. Konsekuensinya adalah kalangan pendidik (dosen) harus mempunyai kemampuan untuk membimbing mahasiswa ke arah tersebut.

Tahap pengembangan bisnis di tingkat perguruan tinggi ini akan mendatangkan berbagai keuntungan. Apabila bisnis berkembang dan mendapatkan keuntungan material maka mahasiswa tidak perlu mencari kerja jika telah lulus atau bahkan mungkin mahasiswa dapat membiayai kuliahnya sendiri. Jika bisnis yang dijalankan tidak berkembang dan tidak mendapatkan keuntungan, maka setidaknya mahasiswa telah mendapatkan keuntungan immaterial berupa pengalaman berwirausaha.

Keberhasilan mahasiswa berwirausaha akan membantu pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan di Indonesia. Semakin banyak wirausahawan muda yang tumbuh sejak mereka duduk di bangku perguruan tinggi, maka semakin berkurang pula jumlah pengangguran di Indonesia, terlebih jika para wirausahawan itu mampu mempekerjakan masyarakat yang masih pengangguran.

Aplikasi Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan

            Jika gagasan Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan dipandang menjadi salah satu solusi untuk mengurangi banyaknya pengangguran dan perlu diterapkan di Indonesia, maka pemerintah dapat memilih beberapa alternatif  dalam pelaksanaannya. Alternatif yang dapat ditempuh antara lain :

1.      Memberikan jam khusus untuk kegiatan kewirausahaan dengan memasukkan kewirausahaan sebagai mata pelajaran wajib yang harus ditempuh.
2.      Memberikan hari khusus, yaitu Hari Sabtu untuk kegiatan kewirausahaan.
3.      Memasukkan materi kewirausahaan ke beberapa materi pelajaran yang relevan.
4.      Menyelenggarakan ekstrakulikuler wajib berupa kewirausahaan di setiap sekolah.

 Masing-masing alternatif tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya apabila diaplikasikan, sehingga perlu kajian yang lebih mendalam untuk memilih alternatif terbaik. Sebagai referensi, dapat digunakan kurikulum-kurikulum terdahulu yang pernah berlaku di Indonesia.

Konsekuensi diberlakukannya rencana pembelajaran Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan seperti yang telah dikemukakan di atas adalah penurunan jumlah pertemuan bagi mata pelajaran lain setiap minggunya. Hal tersebut justru dapat dipandang sebagai sesuatau yang positif, yaitu untuk menyederhanakan kurikulum mata pelajaran lain, yang dipandang terlalu banyak / kompleks.

Kurikulum yang saat ini berlaku di Indonesia (KTSP), seorang anak SMP kelas 1 harus menguasai (menghapal) materi tentang gejala biotik dan abiotik, mikroskop, keselamatan kerja, ciri-ciri makhluk hidup, klasifikasi makhluk hidup, keragaman pada tingkat organisasi makhluk hidup, ekosistem, pelestarian keanekaragaman makhluk hidup,hubungan kepadatan populasi manusia terhadap lingkungan, seta kerusakan lingkungan pada pelajaran biologi. Materi keragaman bentuk muka bumi, kehidupan sosial manusia, kondisi geografis dan penduduk, gejala atmosfer dan hidrosfer beserta dampak terhadap kehidupan, serta pola ekonomi penduduk harus dikuasai pada mata pelajaran geografi.

Pada pelajaran sejarah siswa SMP kelas 1 harus mempelajari perkembangan makhluk hidup, manusia prasejarah, kehidupan awal manusia di Indonesia, perkembangan Hindu-Budha di Asia, kerajaan Hindu-Budha di Indonesia, perkembangan Islam di Indonesia, kerajaan Islam, serta kolonialisme bangsa barat di Indonesia. Selain itu, siswa harus menguasai materi-materi yang lebih memberatkan pada mata pelajaran lain seperti fisika dan matematika. Materi bagi siswa kelas 1 SMP pun seberat itu, lalu seberat apa materi untuk siswa kelas 2 SMP, kelas 3 SMP, dan siswa SMA?

Disadari atau tidak, banyaknya materi yang harus dikuasai akan menumbuhkan rasa malas bagi siswa untuk bersekolah. Dengan berkurangnya muatan pelajaran yang harus dipelajari anak didik yang selama ini dianggap memberatkan, dan diganti dengan kegiatan kewirausahaan, diharapkan akan mampu menumbuhkan semangat anak untuk bersekolah. Semangat sekolah anak didik yang tinggi, potensial untuk menghasilkan luaran yang baik pula.

Luaran yang Diharapkan

            Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan akan merubah keadaan Bangsa Indonesia saat ini, di mana kondisi Bangsa Indonesia sudah memiliki terlalu banyak pencari kerja dan terlalu sedikit pencipta kerja. Luaran yang diharapkan dari Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan ini adalah munculnya generasi muda yang mempunyai jiwa kewirausahaan, sehingga tidak lagi menggantungkan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya pengangguran di Indonesia. Pertumbuhan wirausahawan-wirausahawan muda secara keseluruhan akan menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih luas

             Negara berkembang seperti yang kaya akan potensi sumber daya, baik alam, budaya, maupun manusia sangat potensial sebagai tempat mengembangkan kreativitas dan usaha-usaha baru (Anonim[1], 2008). Fakta bahwa kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah yang membutuhkan sumber daya manusia yang mampu mengolahnya guna kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara, turut menjadi faktor pendukung berlakunya Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan. Kurikulum ini diharapkan dapat melahirkan sumber daya manusia yang mampu mengelola dan mengembangkan sumber daya alam di Indonesia.

Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan akan mempercepat pertumbuhan jumlah pengusaha di Indonesia. Menurut Ir Ciputra (pengusaha nasional), Indonesia butuh 25 tahun untuk mencapai target jumlah pengusaha yang ideal. Saat ini Indonesia baru memiliki 0,8 persen dari jumlah minimal 2 persen pengusaha dibanding jumlah penduduk ( Reh-Atemalem-Susanti, 2008). Dengan berlakunya kurikulum ini, maka jumlah pengusaha ideal di Indonesia diharapkan tercapai dalam waktu kurang dari 25 tahun.

Penutup

Secara lengkap wirausaha dinyatakan oleh Joseph Schumpeter sebagai orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk organisasi baru atau mengolah bahan baku baru (Anonim[4], 2008). Indonesia membutuhkan orang-orang yang mendobrak sistem ekonomi melalui kegiatan kewirausahaan untuk mengelola sumber daya yang ada di Indonesia untuk kemakmuran diri dan masyarakat di sekitarnya. Untuk mendapatkan generasi muda yang mempunyai semangat kewirausahaan tinggi, maka diperlukan sistem pembinaan kewirausahaan yang tepat. Sistem pembinan itu dimanifestasikan dalam bentuk kurikulum pendidikan yang mempunyai konsep pembelajaran terintegrasi sejak anak didik duduk di bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Bila anak didik mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi diberikan materi kewirausahaan secara terintegrasi, niscaya generasi masa depan akan berparadigma kewirausahaan pula. Hal ini akan berdampak pada menurunnya tingkat ketergantungan generasi muda untuk mengandalkan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah, sehingga akan berdampak pula pada menurunnya angka pengangguran.

Akhirnya, ketika visi dan misi telah jelas, sistem telah rampung, dan semua perangkat pendidikan sudah siap, maka pendidikan Indonesia akan memiliki wacana baru masa depan yakni sebagai ujung tombak solusi berbagai permasalahan bangsa ini. Diharapkan keluaran dari pendidikan Indonesia mampu menjadi para solution maker untuk bangsanya, bukan problem maker.

DAFTAR PUSTAKA
 
Anonim[1],2008. Koran Tempo, Terbit 6 Februari 2008
Anonim[2],2003. Standar Penilaian Buku Pelajaran Pengetahuan Sosial SD-SMP. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.  Download tanggal 27 Maret 2008 dari http://www.dikdasdki.go.id/download/standarbuku/ips.doc.
Anonim[3], 2008. Kompas.http://mybusinessblogging.com/entrepreneur/ 2008/03/06/ kewirausahaan-sejak-dini/  download tanggal 19  Maret 2008
Anonim[4],2008. http://www.geocities.com/agus_lecturer/kewirausahaan/ definsi_ kewirausahaan.htm download tanggal 19 Maret 2008
Bob Widyahartono MA,2008. http://www.antara.co.id/arc/2007/8/11/menyadari-dan-menghargai-kewirausahaan-ukm/ download 19 Maret 2008
Ferry T Indratno,2007. http://www.kompas. co.id/kompas- cetak/0705/ 31/humaniora/ 3563011.htm  download 8 Maret 2008
Herlanti,2008.http://yherlanti.wordpress.com/2008/01/11/perjalanan-kurikulum-pendidikan-di-indonesia-dari-masa-ke-masa/ download tanggal 8 Maret 2008
Muchammad-Ichsan (2007), Ayo… Bangit dari Pengangguran Solusi Islam Mengatasi Pengangguran. Mocomedia
Muh. Faizin Adi P, 2008. http://opinibebas.epajak.org/pendidikan/sebenarnya- mau-kemana-pendidikan- indonesia-6/  download 8 Maret 2008
Nizar-Muhammad,2007. http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx? id= 4694.  download 27 Maret 2008
Razali-Ritonga, 2008. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006 /08/31/ brk, 20060831-82991,id.html  download 19 Maret 2008
Reh-Atelem-Susanti,2008. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008 /01/18/brk,20080118-115737,id.html download 19 Maret 2008
 

*) This paper was made in 2008 for applying PPI Malaysia Conference