BIOETANOL DARI BAHAN LIGNOSELULOSA : TANTANGAN MENUJU KOMERSIALISASI

Kebutuhan minyak bumi yang semakin besar merupakan tantangan yang perlu diantisipasi dengan pencarian alternatif sumber energi yang lain. Cadangan minyak bumi Indonesia hanya sekitar 9 miliar barel dengan produksi mencapai 500 juta barel per tahun. Diperkirakan cadangan minyak bumi akan habis dalam waktu 23 tahun[1]. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk mencari bahan bakar alternatif yaitu bahan bakar yang bersifat terbarukan, seperti bioetanol, biohidrogen, biodisel, biogas, biochar, dan bio-oil[2].

Bioetanol (alkohol) adalah hasil dari aktivitas mikrobia, biasanya adalah yeast, yang mendegradasi gula melalui proses anaerobik, yaitu fermentasi.Menurut standar mutu Uni Eropa, bioetanol dapat diaplikasikan sebagai bahan bakar dengan mencampurkannya sebanyak 5% terhadap bensin. Penggunaan campuran bensin dan bioetanol 5% tidak memerlukan modifikasi mesin. Apabila mesin dimodifikasi, seperti telah diterapkan di Swedia, campuran bioetanol yang digunakan dapat lebih banyak lagi, hingga mencapai 85%[3]

Bioetanol dapat dibuat dari berbagai jenis karbohidrat seperti gula, pati, atau lignoselulosa. Secara umum proses pembuatannya meliputi sakarifikasi / hidrolisis, fermentasi,  dan distilasi. Hidrolisis dapat dilakukan secara enzimatis yang bertujuan untuk memecah polimer menjadi sukrosa, kemudian sukrosa dapat difermentasi dengan yeast komersial seperti Saccharomyces ceveresiae untuk menghasilkan bio-etanol[2].  Selain yeast, dapat pula menggunakan bakteri atau filamentous fungi. Pemecahan sukrosa menjadi dapat dibagi menjadi dua tahap.  Tahap pertama adalah pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa

C12H22O11 –> C6H12O6 + C6H12O6

Sukrosa     Glukosa    Fruktosa

            Sedangkan tahap kedua, merupakan pemecahan gula sederhana menjadi etanol yang dilakukan oleh zymase, enzim yang ada juga dimiliki oleh mikroorganisme tersebut.

C6H12O6 –> 2C2H5OH + 2CO2

            Produksi bioetanol dari gula dan pati sampai saat ini sudah establish, bahkan sudah banyak diterapkan dalam skala industri seperti di Swedia, Perancis, Kanada, USA, Spanyol, dan Brazil, namun proses produksi dari lignoselulosa, hingga saat ini masih dalam taraf pengembangan. Artikel ini banyak meninjau permasalahan dalam proses produksi bioetanol dari bahan lignoselulosa, sehingga menghambatnya untuk produksi secara masal.

PERKEMBANGAN PROSES PRODUKSI BIOETANOL DARI LIGNOSELULOSA

            Karbohidrat kompleks berupa lignoselulosa dapat dikonversi menjadi bioetanol dengan fermentasi, namun sampai saat ini masih banyak tantangan yang harus diatasi.  Secara umum tahapan proses untuk membuat etanol dari lignoselulosa meliputi delignifikasi, pre-hidrolisis, hidrolisis enzimatis, dan fermentasi[4]. Setelah tahapan fermentasi diperlukan pula tahapan purifikasi untuk mendapatkan etanol anhidrat.

Delignifikasi

            Tahapan delignifikasi merupakan tahapan untuk menghilangkan lignin, sebab lignin merupakan bagian keras pada kayu yang tidak dapat dikonversi menjadi etanol. Untuk memisahkan lignin dari selulosa dan hemiselulosa antara lain dapat dilakukan dengan steam exploition[5]. Selanjutnya selulosa dan hemiselulosa dapat dikonversi menjadi bio-etanol dengan hidrolisis dan fermentasi, seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Hidrolisis

            Hidrolisis dilakukan untuk memotong ikatan H2  dalam fraksi selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana, seperti heksosa dan pentosa. Hidrolisis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu hidrolisis secara kimiawi ( dengan asam encer atau asam pekat) dan hidrolisis secara enzimatis. Hidrolisis secara enzimatis sebenarnya lebih baik daripada hidrolisis secara kimia, sebab mampu mendegradasi karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana dengan hasil yang lebih banyak.  Tetapi, hidrolisis enzimatis juga masih mempunyai beberapa kelemahan dibandingkan hidrolisis kimiawi, yaitu kecepatan hidrolisis yang rendah dan mahal. Kedua masalah tersebut yang masih menghambat komersialisasi bioetanol dari lignoselulosa sampai saat ini[6], sehingga perlu segera untuk ditemukan solusinya.

Untuk menggantikan hidrolisis enzimatis supaya lebih cepat,maka dilakukan hidrolisis asam. Namun hidrolisis asam ternyata juga mempunyai kelemahan. Hidrolisis asam encer sangat korosif karena adanya pengenceran dan pemanasan asam. Proses ini membutuhkan peralatan yang metal yang mahal atau dibuat secara khusus. Recovery asam juga membutuhkan energi yang besar. Selain itu pada hidrolisis asam encer terjadi degradasi gula d dan pembentukan produk samping yang tidak diinginkan. Degradasi gula dan produk samping ini tidak hanya akan mengurangi hasil panen gula, tetapi produk samping juga dapat menghambat pembentukan ethanol pada tahap fermentasi selanjutnya. Kelemahan  hidrolisis asam pekat juga membutuhkan biaya investasi dan pemeliharaan yang tinggi, hal ini mengurangi ketertarikan untuk komersialisasi proses ini[12]

Fermentasi

            Gula sederhana hasil hidrolisis dapat dikonversi menjadi etanol baik secara aerobik maupun anaerobik. Persamaan reaksi pembentukan etanol dari heksosa dan pentosa secara aerabik maupun anaerobik dapat dilihat pada Gambar 2.

Kriteria mikroorganisme yang digunakan dalam proses tersebut harus memenuhi syarat antara lain melakukan pertumbuhan dan fermentasi secara cepat, menghasilkan etanol yang tinggi, mampu bertahan dalam kadar glukosa dan alkohol yang tinggi,  serta mampu bertahan terhadap inhibitor yang terdapat pada subtrat yang akan difermentasi. Beberapa inhibitor yang terdapat dalam subtrat lignoselulosa antara lain asam organik dengan berat molekul rendah, komponen turunan furan, serta komponen fenolik dan anorganik yang terbentuk pada saat hidrolisis[7].

Lignoselulosa dapat mengandung xylosa dan arabinosa yang tidak dapat difermentasi menggunakan yeast komersial seperti S. cerevisiae[8], sehingga diperlukan usaha untuk menemukan strain rekombinan bakteri dan yeast untuk mewujudkan komersialisasi bioetanol dari lignoselulosa. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa mikrobia yang dapat digunakan untuk fermentasi etanol antara lain Eschercia coli KO11, E. Coli FBR5, Zymomonas mobilis 8b6, Pichia stipitis8, P stipitis CBS 5773, S. cerevisiae 424A (LNF-ST), S. cerevisiae TMB 3006, dan S. cerevisiae TMB 3400. [9]

Rekombinan yang dikembangkan ternyata masih memiliki kelemahan, yaitu tidak mampu memfermentasi xylosa jika masih ada senyawa toksik (seperti turunan furan dan komponen fenol) yang ada dalam subtrat. Sehingga untuk fermentasi xylosa diperlukan proses detoksifikasi terlebih dahulu. Sejauh ini diketahui hanya rekombinan S. cerevisiae yang mampu memfermentasi xylosa tanpa harus melakukan proses detoksifikasi subtrat sebelumnya [9].  Keunggulan lain penggunaan rekombinan S. cerevisiae untuk fermentasi adalah dapat menghasilkan etanol dari glukosa  dengan randemen tinggi, yaitu sekitar 0.4–0.51 g-etanol/g-glukosa dengan produktivitas hingga 1,0 gram/L h.[10]

            Pengembangan rekombinan mikroorganisme tidak mudah untuk dilakukan. Penelitian yang pernah dilakuakan di USA, adalah dengan memodifikasi strain bakteri gram negatif ( E. Coli, Klebsiella oxytoca, atau Erwinia sp) dengan encoding gen dari Zymomonas mobilis yang digunakan untuk memproduksi etanol, melalui kromosom[11]. Tujuan utamanya adalah menciptakan rekombinan mikrobia untuk proses fermentasi xylosa yang efektif dan efisien.

 

KESIMPULAN

            Bioetanol merupakan salah satu energi terbarukan yang dapat digunakan sebagai campuran pada bensin untuk menjalankan mesin. Produksi bioetanol dari gula dan pati telah mencapai tahap komersialisasi, namun proses produksi bioethanol dari lignoselulosa sampai saat ini masih dalam tahap pengembangan. Permasalahannya terletak pada hidrolisis enzimatis yang lambat serta biaya yang mahal. Hal ini dapat diatasi dengan hidrolisis asam, namun hidrolisis asam masih memilki beberapa kelemahan. Selain itu proses fermentasi xylosa menjadi etanol yang efektif dan efisien masih perlu dikembangkan. Salah satu solusinya adalah dengan mengembangkan strain rekombinan.

 

REFERENSI

[1]  Erliza-Hambali, 2007. Teknologi Bioenergi. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.
[2] Demibas, A., 2008. Biofuels sources, biofuelpolicy, biofuel economy and biofuels projections. Energy Conversion and Management 49 (2008) 210
[3] Demibas, A., 2007. Progress and recent trends in biofuels. Progress in Energy and Combution Science 33 (2007) 1-18
[4] Baltz RA, Burcham AF, Sitton OC, Book NL. The recycle of sulfiric acid and xylose in the prehydrolysis of corn. Energy 1982 ; 7 ; 259-65
[5] Tanahashi, M., et al. 1983. Characterization of explotion wood. 1. Structure and physical properties., Wood Research, Vol. 69, pp. 36-51.
[6] Mosier N, et al. 2005. Feature of promising technologies for pretreatment of lignocellulosic biomass. Bioresour. Technol 96. 1986-1993
[7] Larsson et al, 2000. Influence of lignocellulosic-derived aromatic compounds on oxygen-limited growth and ethanolic fermentation by S. cereviseae. Appl. Biochem. Biotechnol 84-86, 617-639.
[8] Die BS, et al. 2003. Bacteria engneered for fuel ethanol production : current status. Appl. Biochem. Biotechnol 83, 258-266.
[9] Hahn-Hagerdal, et al. 2006. Bio-ethanol – the fuel tomorrow from the residues of today. TRENDS in Biotechnology Vol 24 No 12
[10] Öhgren, K., Rudolf, A., Galbe, M., Zacchi, G., 2006. Fuel ethanol production from steam-pretreated corn stover using SSF at higher dry matter content. Biomass and Bioenergy 30 (10), 863–869.
[11] Ingram LO and Joy B Doran. 1995. Conversion of cellulosic materials to ethanol. FEMS Microbiology Reviews 16 235-241
[12] Taherzadeh, Muhammad J. and Karimi, Keikhosro. 2008, Pretreatment of Lignocellulosic Waste to Improve Bioethanol and Biogas Production. Int. J. Mol. Sci 9, pp. 1621-1651.