CSR PERUSAHAAN ROKOK INDONESIA

Pendahuluan

Tembakau adalah salah satu komoditas perkebunan di Indonesia. Dari segi botani, kebanyakan tanaman tembakau yang dibudidayakan sekarang ini adalah Nicotiana tabacum L. Nama Nicotiana diberikan oleh ahli botani Linnaeus pada tahun 1753, dengan mengambil sebagian nama duta besar berkebangsaan Perancis Jean Nicot de Villamain, beliau banyak berjasa dalam penyebaran tanaman tembakau di Eropa. Sedang kata tabacum atau tobacco tidak jelas aslinya tetapi kemungkinan berasal dan kata tobago yaitu sejenis pipa bercabang yang kala itu digunakan orang-orang Indian dengan menghisap asap melalui hidung atau mungkin pula berasal dari nama suatu pulau di India Barat, yaitu Tobago.

Tembakau dan industri yang menyertainya (industri rokok) telah berkembang pesat di Indonesia. Perusahaan rokok telah menjelma menjadi perusahaan raksasa di Indonesia. Dengan dana yang melimpah, perusahaan rokok di Indonesia melakukan kegiatan bisnis dan banyak kegiatan sosial yang dibalut dengan program Corporarte Social Responsilities (CSR).  Tulisan ini akan membahas aktivitas CSR perusahaan rokok di Indonesia, apakah telah mencapai sasaran yaitu sebagai salah satu wujud sustainable development, atau hanya sekedar strategi marketing saja.

Sejarah Perkembangan Tembakau dan Industri Rokok di Indonesia

Masuknya tembakau di Indonesia diperkirakan bersamaan dengan kedatangan bangsa Spanyol atau Portugis, yaitu sekitar abad 16. Percobaan penanaman tembakau secara besar-besaran di Indonesia pertama kali dilakukan bangsa Belanda pada tahun 1830 oleh Van den Bosch melalui Cultuurstelsel, yaitu di sekitar Semarang, Jawa Tengah. Pada waktu itu, komoditas tembakau sangat dibutuhkan untuk memenuhi pabrik-pabrik rokok terutama jenis cerutu, untuk kepentingan orang-orang Belanda. Penanaman tersebut ternyata mengalami kegagalan dan mendatangkan kerugian, sehingga diadakan penghapusan peraturan Culturstelsel pada tanaman tembakau. Pada tahun 1856, Belanda mencoba kembali penanaman tembakau secara meluas di daerah Besuki, Jawa Timur. Jenis tembakau yang dibudayakan juga masih prioritas yang dibutuhkan, yaitu jenis cerutu.

Dua tahun kemudian, yaitu pada 1858 diadakan penanaman jenis tembakau cerutu lainnya di daerah Klaten. Sekitar tahun 1925 oleh Belanda didirikan Krosok-Central di Talun, Jawa Timur dalam usaha penanaman jenis tembakau sigaret Virginia. Perkembangan permintaan jenis tembakau sigaret yang makin meningkat, menyebabkan kemudian di beberapa daerah mulai dikembangkan dan telah dicoba penanamannya, antara lain di Lombok, Nusa Tenggara Barat; Lampung; Sumatra Selatan; sekitar Ujung Pandang, Sulawesi Se1atan. Sejauh kini hampir sebagian besar pengusahaan komoditas tembakau jenis cerutu dan jenis Virginia diusahakan oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dalam bentuk PT Perkebunan Nusantara. Lazim orang menyebut jenis tembakau yang diusahakan oleh Perkebunan dikenal dengan nama “tembakau perkebunan”.

Jenis virginia merupakan jenis tembakau untuk keperluan rokok sigaret. Permintaan pasar akan rokok sigaret, membuat jenis virgina banyak dibudidayakan. Permintaan pasar akan rokok sigaret yang besar, diimbangi pula oleh berdirinya pabrik-pabrik rokok di Indonesia. Hingga kini ada beberapa pabrik rokok yang mempunyai konsumen loyal yang sangat besar sehingga perusahaan tersebut menjelma menjadi perusahaan raksasa. Beberapa perusahaan rokok ternama di Indonesia adalah PT Djarum Indonesia dan PT. HM Samporena.

Corporate Social Responbilities (CSR )

Dalam undang-undang telah dikatakan bahwa perusahaan yang berstatus perseroan wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam UU PT, disebutkan pada  Ayat 1 pasal 74 berbunyi ”Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Hal ini merupakan salah satu dari representasi dari kegiatan CSR sebuah perusahaan. Kalimat dalam undang-undang tersebut hanya merupakan salah satu dari sekian banyak dari definisi CSR.

Sampai saat ini belum disepakati tentang definisi CSR. Dengan tidak adanya kesepakatan ilmiah tentang CSR, maka konsekuensinya adalah bahwa setiap pihak dapat menginterpretasikan CSR sesuai kepentingan dan selera mereka. Banyak pendapat tentang definisi CSR. Namun secara umum dapat dimengerti bahwa CSR adalah kontribusi perusahaan untuk pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan kata kunci pada pengertian CSR. Kalau bukan ditujukan untuk pembangunan berkelanjutan negara di mana perusahaan itu berada, maka CSR tersebut merupakan sekadar kosmetik untuk perbaikan citra. Jadi, dengan menggunakan pembangunan berkelanjutan sebagai konsep kunci, ada perbedaan yang tegas antara CSR dan greenwash alias pengelabuan citra. CSR mengandung lima komponen penting, yaitu : ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan, dan voluntarisme. Komponen ekonomi, sosial dan lingkungan menekankan bahwa CSR dengan pembangunan berkelanjutan tidak dapat dipisahkan.

 

CSR dalam Perspektif Perusahaan

Bagi perusahaan, CSR dapat dipandang menjadi dua hal yang saling bertolak belakang, yaitu apakah CSR itu bersifat sukarela atau wajib. Beberapa ahli menyatakan CSR seharusnya didasarkan pada kesukarelaan dengan pendirian Ketua Panitia Khusus  UU. Dengan demikian kegiatan CSR perusahaan harus diregulasi. Namun,sampai saat ini banyak perusahaan yang memandang CSR bukan sebagai kewajiban, tetapi suatu kesukarelaan.

Pemahaman yang dipromosikan oleh perusahaan-perusahaan yang berkomitmen CSR tinggi maupun banyak ahli yang sependapat adalah bahwa sukarela bukan berarti perusahaan bisa semaunya saja memilih untuk menjalankan atau tidak menjalankan tanggung jawabnya atau selektif terhadap tanggung jawab itu. Yang dimaksud dengan kesukarelaan adalah perusahaan juga menjalankan tanggung jawab yang tidak diatur oleh regulasi. Jadi, apa yang sudah diatur oleh pemerintah harus dipatuhi dahulu sepenuhnya, kemudian perusahaan menambahkan lagi hal-hal positif yang tidak diatur. Semakin banyak hal positif yang dilakukan perusahaan, padahal hal itu tidak diharuskan oleh pemerintah, maka kinerja CSR perusahaan itu semakin tinggi.

Undang-Undang Perseroan Terbatas mewajibkan perusahaan yang berbasis sumber daya alam menyisihkan anggaran untuk tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan. Perdebatan banyak terjadi di seputar CSR yang seharusnya berlandaskan kerelaan, tetapi menjadi kewajiban. Tetapi karena sudah menjadi UU, yang bisa dilakukan adalah justru bagaimana merumuskan dalam peraturan pemerintah yang akan menjadi strategi baru dalam menjalankan perusahaannya. CSR telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Komisi Eropa membuat definisi yang lebih praktis, yang pada intinya adalah bagaimana perusahaan secara sukarela memberi kontribusi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih.

Tanggung jawab sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal) perusahaan. Ke dalam, tanggung jawab ini diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan. Keluar, tanggung jawab sosial ini berkaitan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang. Dengan hal ini dapat disimpulkan begitu luasnya makna CSR. Dapat digambarkan CSR sebagai sebuah piramida, yang tersusun dari tanggung jawab ekonomi sebagai landasannya, kemudian tanggung jawab hukum, lantas tanggung jawab etik, dan tanggung jawab filantropis berada di puncak piramida.

 

CSR Perusahaan Rokok di Indonesia, Kepedulian Sosial atau Strategi Pemasaran

PT. HM Sampoerna dengan dana yang melimpah, menawarkan kegiatan sosial yang dilakukan untuk kepentingan masyarakat. Tidak mau kalah dengan PT. HM Sampoerna, PT. Djarum Indonesia menawarkan banyak program yang dilakukan untuk masyarakat, antara lain Djarum Bakti Pendidikan, Djarum Bakti Lingkungan, dan Djarum Bakti Olahraga.  Bentuk dari Djarum Bakti Pendidikan dan Djarum Bakti Olahraga adalah pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi namun tidak mampu secara ekonomi atau siswa yang berprestasi baik di bidang akademik maupun olahraga (khususnya olahraga bulu tangkis).

Di mata sebagian besar pemilik perusahaan dan jajaran direksi perusahaan, istilah corporate social responsibility (CSR) dipandang hanya sebagai tindakan filantropi. CSR ditempatkan sebagai derma perusahaan atau bahkan sedekah pribadi. Selain itu, terdapat juga pandangan yang cukup kuat di mata pelaku bisnis yang memandang CSR sebagai strategi bisnis. CSR dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai dan meningkatkan tujuan ekonomi melalui aktivitas sosial.

Dalam beberapa iklan rokok di televisi, dapat dilihat bahwa iklan rokok menyentuh sisi kepedulian sosial. Pemberian beasiswa pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu dipublikasikan secara dramatis, sehingga iklan rokok bukan saja mengagumkan, namun juga mampu menyentuh solidaritas kemanusiaan. Setelah PT. HM Sampoerna dengan jargon ”Sampoerna untuk Indonesia” banyak menampilkan sumbangsih mereka untuk mencerdasakan bangsa, belakangan PT Djarum menampilkan hal senada. Kendati sebagian orang mengetahui bahwa kegiatan ”Sampoerna untuk Indonesia” dikelola oleh Sampoerna Foundation yang secara manajerial terpisah dan independen dari PT HM Sampoerna, namun semua orang mafhum bahwa publikasi itu memiliki relasi dengan pemasaran (caused related marketing) dengan produk rokok Sampoerna. Demikian pula halnya Beasiswa Djarum atau Diklat Bulu Tangkis Djarum.

Hubungan CSR dengan Profitabilitas Perusahaan

Tanggung jawab ekonomi adalah memperoleh laba, sebuah tanggung jawab agar dapat menghidupi karyawan, membayar pajak dan kewajiban perusahaan yang lainnya. Tanpa laba perusahaan tidak akan eksis, tidak dapat memberi kontribusi apapun terhadap masyarakat. Artinya, CSR yang dalam dimensi filantropi yang biasanya bersifat kerelaan, dijadikan sebuah keharusan bagi perusahan yang berbasis sumberdaya alam. Penjabarannya mungkin lebih mengarah kepada community development yang tersirat dari judulnya “tanggung jawab sosial dan lingkungan” dan mengaitkannya dengan perusahaan berbasis sumberdaya alam. Dalam program community development telah terjadi pergeseran paradigma dalam pengembangan komunitas dari yang semula hanya bersifat ad hoc, pendekatan amal, berorientasi jangka pendek, kesadaran yang rendah, dan externally driven menjadi bersifat kemitraan, lebih dirasakan sebagai kewajiban moral, berorientasi kepada etika dan internally driven.

Riset yang dilakukan oleh Roper Search Worldwide menunjukkan 75% responden memberi nilai lebih kepada produk dan jasa yang dipasarkan oleh perusahaan yang memberi kontribusi nyata kepada komunitas melalui program pengembangan. Sekitar 66% responden juga menunjukkan mereka siap berganti merek kepada merek perusahaan yang memiliki citra sosial yang positif. Hal ini membuktikan terjadinya perluasan ”minat” konsumen dari ”produk” menuju korporat. Konsumen semacam ini tidak hanya peduli pada faktor pemenuhan kebutuhan pribadi sesaat saja, tetapi juga peduli pada penciptaan kesejahteraan jangka panjang. Meningkatnya tingkat kepedulian akan kualitas kehidupan, harmonisasi sosial dan lingkungan ini juga memengaruhi aktivitas dunia bisnis. Maka lahirlah  gugatan terhadap peran perusahaan agar mempunyai tanggung jawab sosial. Di sinilah salah satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari kegiatan CSR. CSR dapat mengimbangi exposure terhadap sisi negatif perusahaan dan mengurangi dampak terhadap tindakan yang tidak menyenangkan. Misalnya, jika suatu saat perusahaan menghadapi krisis. Aktivitas CSR yang efektif akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada perusahaan. Ketika perusahaan diterpa kabar miring, masyarakat tidak langsung percaya. satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari kegiatan CSR.

Dalam perspektif ganda, keberadaan perusahaan diharapkan dapat memacu derak roda perekonomian, yang membawa komunitas menuju taraf hidup yang lebih tinggi. Dengan demikian harus ada keseimbangan manfaat komunitas (community benefits) dengan manfaat bisnis (business benefits), yang dapat diperoleh dari percampuran antara filantropi murni dan pendekatan business sponsorship approach yang melahirkan strategic philanthropy. Bahkan bila perlu diberikan insentif khusus bagi perusahaan yang konsisten menerapkan CSR atau community development secara efektif serta terbukti berhasil meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya, sehingga ada keseimbangan antara punishment berupa sanksi dan reward berupa insentif (misalnya keringanan pajak).

Strategi Pengelabuan Citra

Di tengah hiruk pikuknya iklan-iklan terkait CSR, ia  mengingatkan bahwa banyak sekali kemungkinan iklan-iklan itu jatuh ke dalam kategori pengelabuan citra (greenwash) belaka. Citra perusahaan kerap dinyatakan sebagai variabel antara dalam hubungan antara kinerja CSR dengan kinerja finansial perusahaan. Ada beberapa hal yang  dapat ditimbulkan oleh pengelabuan citra. Salah satunya adalah para konsumen yang beriktikad baik akan terperosok membeli produk yang sesungguhnya tidak berkinerja sebaik yang dijanjikan, sehingga peningkatan mutu lingkungan yang diharapkan oleh konsumen tersebut tidak terjadi. Dengan kerugian tersebut, maka pengelabuan citra oleh perusahaan memang harus diperangi.

Bagaimana dengan pengelabuan citra rokok? Rokok yang dikelompokkan sebagai produk dewasa dan bahkan tidak sedikit kalangan pengamat CSR yang mengategorikannya sebagai produk berbahaya— masuk ke dalam harmfull industries yang dianggap legal, setara dengan miras, judi dan senjata—tampil sedemikian elegan. Industri rokok memang sudah lama menjadi sponsor untuk berbagai event yang sama sekali bertentangan dengan kebiasaan merokok, seperti turnamen sepak bola, kejuaraan bulu tangkis, dan bahkan tidak sedikit menjadi sponsor utama untuk acara-acara keagamaan. Padahal, olahraga adalah upaya untuk meningkatkan kesehatan yang kerap disejajarkan dengan upaya menghindari rokok, sementara majoritas norma agama menganjurkan agar tidak merokok.

Event lain yang banyak disponsori industri rokok adalah pagelaran seni. Bahkan sebuah industri rokok secara rutin menyelenggarakan konser musik tahunan dengan tur berkeliling ke sejumlah kota-kota besar di Indonesia. Sekali lagi, pesannya pun dikemas sedemikian indah dan menyentuh sisi yang sangat positif. Hampir dalam semua kegiatan yang disponsori industri rokok, dengan publikasi yang besar-besaran dan nyaris menggunakan semua media publikasi, mulai dari televisi, radio, baliho, dan bahkan sampai dengan poster-poster yang ditempel di berbagai tempat. Juga, selalu mengutamakan pesan utama yang sepertinya tidak ada hubungannya dengan bahaya merokok.

Sesungguhnya baik pesan yang menunjukkan kepedulian pada penderitaan sosial, kesehatan, menjadi sahabat di saat duka dan menjadi teman di kala suka, dengan sangat mudah dipastikan bahwa itu semua merupakan strategi pemasaran. Bertambahnya jumlah pecandu perokok adalah tujuan utama dari kegiatan ini. Padahal, para dokter punya banyak daftar nama penyakit yang bakal  diderita orang yang kecanduan rokok. Bahkan dalam setiap kemasan bungkus rokok, dicantumkan peringatan: ”Merokok dapat menyebabkan serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.”

Tampaknya strategi pengelabuan citra rokok ini berhasil. Pada peringatan pada tahun 2008, tema yang diangkat adalah membebaskan generasi muda dari asap rokok. Pada Youth Tobacco Survey (GYTS) yang dilakukan WHO sepanjang tahun 2004-2006 di Indonesia, diungkapkan bahwa 12,6% pelajar SMP adalah perokok. Untuk pelajar laki-laki mencapai seperempatnya (24,5%) dan perempuan 2,3%. Dan yang mengejutkan sebanyak 30,9% dari pelajar perokok tersebut mulai merokok sebelum umur 10 tahun dan 3,2% dari mereka termasuk dalam kategori kecanduan. Hasil lain penelitian itu adalah lebih dari sepertiga (37,3%) pelajar SMP Indonesia pernah merokok dengan persentase laki-laki 61,3% dan perempuan 15,5%. Sebanyak 64,2 % pelajar SMP menyatakan mereka telah menjadi perokok pasif. Kondisi lebih parah terjadi di tempat-tempat umum yaitu sebanyak 81,0% pelajar SMP menjadi perokok pasif.

Namun dari semua data negatif yang tersajikan, sekitar 88% pelajar SMP setuju adanya larangan merokok di tempat umum dan 75,9% pelajar perokok ingin berhenti merokok. Sayangnya, 85,5% dari mereka mengaku telah mencoba untuk berhenti namun gagal sehingga memutuskan untuk kembali merokok. Begitu tingginya aktivitas merokok di kalangan generasi muda jelas sangat memprihatinkan, karena hal ini berkorelasi langsung dengan kesehatan kualitas anak usia sekolah tersebut.

Efektifitas Strategi Pengelabuan Citra dengan Keberhasilan Pemasaran

Apa yang membuat anak muda dan orang dewasa tidak mampu bisa berhenti merokok atau kecanduan rokok. Jawabannya adalah iklan rokok yang marak muncul di stasiun TV. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang melakukan survai tahun 2007 di 12 kota di indonesia dengan total responden 2.750 menyebutkan 97,3% pelajar mengaku pernah melihat iklan dan promosi rokok dan 83,7% responden pun mengaku bahwa mereka terinsipirasi untuk mulai merokok setelah melihat iklan, promosi dan kegiatan yang disponsori industri rokok.

Dalam catatan Komnas PA lainnya, sepanjang Januari-Oktober 2007 terdapat 2.848 tayangan televisi yang disponsori rokok di 13 stasiun televisi. Juga tercatat ada 1.350 kegiatan yang disponsori industri rokok, meliputi acara musik, olahraga, film layar lebar, seni dan budaya, hingga kegiatan keagamaan. Karena iklan rokok itu pulalah yang menjadi penyebab orang untuk mulai belajar merokok. Contoh yang konsisten adalah konser pertunjukan para musisi yang berasal dari dalam dan luar negeri yang sarat akan pengerahan massa hampir 100% disponsori oleh perusahaan rokok. Kegiatan olahraga di tingkat nasional juga menggunakan rokok sebagai sponsor utamanya. Ironis memang, kegiatan yang  menekankan kreativitas dan sportivitas malah dibayari oleh rokok yang sebetulnya bertentangan makna dan tujuannya. Namun, perusahaan rokok juga menyambut dengan antusias kegiatan ini, yaitu dengan mengobral iklan produknya. Iklan-iklan tersebut yang selanjutnya ditonton, diperhatikan, ditiru dan bahkan dicoba oleh sebagian penonton, turutama anak usia sekolah yang sedang gemar dengan acara musik maupun olahraga.

Menetukan Arah CSR Perusahaan Rokok

Upaya-upaya yang dilakukan oleh  industri rokok dalam menyiasati pembatasan iklan, di antaranya adalah melalui program CSR. Bagaimana industri rokok dilihat dari sudut pandang CSR? Secara umum dapat dinyatakan bahwa majoritas pakar CSR tidak ragu untuk menyatakan bahwa industri rokok tidak bisa dianggap sebagai industri yang bertanggung jawab sosial. Ada setidaknya tiga indikasi yang terkait dengan pendapat tersebut. Pertama, tidak satupun  indeks socially responsible investment (SRI) yang menyertakan perusahaan rokok ke dalam portofolio investasinya.

Kedua, penolakan para pakar atas keterlibatan industri rokok dalam berbagai aktivitas ilmiah yang membahas CSR. Yang paling terkenal adalah penolakan puluhan pakar terhadap ketelibatan BAT dan Philip Morris dalam forum Ethical Corporation Asia di Hong Kong (14-15 Oktober 2004). Tadinya, kedua raksasa industri rokok tersebut terdaftar sebagai sponsor emas dan juga mengirimkan eksekutif puncaknya sebagai pembicara. Namun, sebuah petisi yang ditandatangani 86 pakar CSR dan etika bisnis, membuat keikutsertaan dua perusahaan tersebut dibatalkan oleh panitia. Ketiga, berbagai survei mutakhir menunjukkan bahwa seluruh pemangku kepentingan sepakat bahwa industri rokok adalah yang paling rendah kinerja CSR-nya. Artinya, telah terjadi kesepakatan global para pemangku kepentingan bahwa industri rokok memang tidak bisa dipandang bertanggung jawab.

Mengapa kesepakatan global ini muncul di kalangan penggiat CSR? Karena beberapa tahun belakangan telah tercapai kesadaran bahwa CSR bisa dimaknai dengan jelas, walaupun definisinya masih sangat beragam. Perbedaan definisi itu ini diketahui hanyalah merupakan perbedaan penekanan dan artikulasi, namun secara substansi tidaklah berbeda.

CSR jauh lebih luas dari sekedar pemberian sponsor, karena sebetulnya CSR adalah manajemen dampak. Timbal balik ke masyarakat juga hanya sebagian dari CSR, karena CSR terutama berkaitan dengan bagaimana keuntungan dibuat oleh perusahaan, bukan sekadar berapa dan kepada siapa keuntungan itu disebarkan. Citra positif adalah hasil menjalankan CSR dalam jangka panjang, namun citra bukanlah tujuan menjalankan CSR itu sendiri. Demikian juga dengan uang. Banyak riset telah membuktikan bahwa kinerja CSR dan kinerja financial perusahaan memang berkorelasi positif, namun uang (keuntungan) hanyalah dampak ikutan dari menjalankan CSR.

Kalau sebuah perusahaan rokok coba-coba untuk membuat klaim bahwa mereka adalah perusahaan yang bertangung jawab sosial, kita bisa menimbangnya dengan keharusan internalisasi eksternalitas di atas. Yang pertama-tama harus diperiksa adalah apakah memang dampak negatif dari produksnya telah ditekan hingga batas terendah yang mungkin? Belum tampak ada upaya masif dari industri rokok untuk mencegah anak-anak dan remaja merokok dengan menghilangkan akses mereka ke produk rokok dan berbagai iklannya. Industri ini juga sama sekali tak serius melindungi bukan perokok.

Dalam berbagai literatur CSR dinyatakan, apabila perusahaan tidak meminimumkan dan  mengkompensasi dampak negatifnya terlebih dahulu, namun langsung terjun dalam  kegiatan amal, itu disebut greenwash alias pengelabuan citra. Tampaknya inilah yang banyak terjadi pada industri rokok di manapun, termasuk di Indonesia.

Begitu juga dengan sinyal bahwa CSR adalah budi pekerti korporat. Jika budi pekerti tidak baik, maka masyarakat akan melihat budi pekerti korporat juga tidak baik. Pencitraan sebagai perusahaan dengan budi pekerti yang baik merupakan sebuah metode untuk mentransfer rival costs yang harus dikeluarkan perusahaan untuk menghadapi pesaing pada industri sejenis. Sebagai contoh PT. HM. Sampoerna yang mencitrakan dirinya sebagai perusahaan rokok yang menjalankan CSR melalui kepedulian pada pendidikan atau PT. Djarum Indonesia melalui program CSR penghijauan dan peduli lingkungan. Positioning tersebut menurunkan rival cost dengan perusahaan lain dalam satu industri, terutama dengan bentuk pasar yang oligopoli maka melalui strategi ini perusahaan mengirimkan sinyal positif sebagai perusahaan yang berbudi pekerti. Hasilnya diharapkan nilai perusahaan akan mengalami peningkatan atau dengan kata lain tujuan financial perusahaan akan tercapai.

Terlepas dari batas yang tipis antara sumbangsih sosial dan strategi pemasaran, sumbangsih mereka, jelas-jelas diakui membawa manfaat bagi kehidupan masyarakat. Namun yang perlu dipertanyakan adalah kegiatan CSR perusahaan rokok tersebut sudah tepat atau belum. Dampak terdekat dari kehadiran dan penggunaan produk rokok adalah soal kesehatan. Oleh karena itu seharusnya industri rokok banyak memprakarsai meminimumkan dampak negatif ini dibandingkan dengan memberikan sumbangsih bagi kegiatan hiburan dan mempublikasikan kegiatan solidaritas sosial. Demikian pula hanya dengan produk rokoknya sendiri. Dalam rangka menghindari dampak buruk bagi kesehatan, produk rokok selain mengedepankan soal cita rasa, sebaiknya juga menginformasikan kandungan dan batas toleransi racun dan tata cara merokok yang mungkin bisa meminimalisasi dampak negatif bagi kesehatan bagi konsumennya. Secara sosial, aktivitas merokok di ruang publik juga banyak dikeluhkan. Oleh karena itu, industri rokok juga seharusnya berperan aktif untuk menyosialisasikan larangan merokok di ruang publik dan membangun sarana-sarana smoking area. Dari sisi penonjolan kemewahan dan kebanggaan merokok, iklan rokok sudah sangat berhasil. Namun dari sisi pendidikan untuk perokok tentang bagaimana sebaiknya merokok dengan santun, hingga kini tak ada satu pun industri rokok yang mulai memprakarsainya.

Dalam soal supply chain, industri rokok merupakan salah satu industri yang memiliki mata rantai keterlibatan pelaku bisnis yang sangat panjang. Sejak petani tembakau dan cengkih sampai dengan penjaja rokok di pinggir jalan. Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah: apa yang dilakukan oleh industri  rokok untuk meningkatkan kehidupan merka yang terlibat di dalamnya? Apakah pembagian keuntungan yang relatif adil sudah terjadi, ataukah ketimpangan pendapatan yang menjadi ciri pelaku industri ini?

Kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy) bisa diartikan sebagai inisiatif perusahaan untuk terlibat dalam upaya-upaya perbaikan kehidupan sosial. Alasan kemanusiaan pada mulanya menjadi motivasi utama tindakan ini. Dalam perkembangannya lebih lanjut, kegiatan ini berkembang menjadi sebuah tindakan strategis. Alasan membangun reputasi, causerelated marketing, dan bahkan secara diam-diam menghitung dampak dan peluang politik hadir dalam tindakan filantropis ini. Sepertinya ini terjadi karena sebagian besar perusahaa menempatkan diri sebagai diri sebagai perusahaan dermawan, untuk kemudian melakukan ekspansi pasar atas modal perolehan citra positif dari publik.

Sebagai sebuah tindakan, CSR tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab perusahaan untuk menimimalisasi dampak negatif dan maksimalisasi dampak positif. Untuk sementara, tampak bahwa kinerja CSR lebih banyak memokuskan diri pada maksimalisasi dampak positif dengan memberikan kontribusi pada aneka ragam kegiatan sosial. Pada umumnya CSR lebih sering memilih agenda sumbangan kepada korban bencana, bermain di sektor pendidikan dan kesehatan. Nyaris semua kegiatan CSR berhenti sampai di sini. Dan nyaris pula, mereka  melupakan evaluasi dan kewajibannya untuk menimalisasi dampak negatif operasi perusahaannya.

Langkah Strategis Pelaksanaan CSR Perusahaan Rokok

Agar CSR menjadi sebuah langkah yang sustainable dan termasuk sebagai upaya minimalisasi dampak negatif dan maksimalisasi dampak positif, disarankan beberapa langkah manajerial yang sebaiknya diambil.

Pertama, melakukan review atas portfolio kegiatan dan program yang sudah berlangsung. Dalam melakukan review dilakukan perusahaan harus melihat apakah kegiatan yang selama ini dilakukan termasuk (i) communal obligation, sebuah kegiatan umum sebagaimana layaknya seorang warga negara. Ciri umum dari kategori ini adalah keterlibatan CSR dalam program pendidikan dan kesehatan; (ii) goodwill building, memberikan kontribusi dan dukungan penuh kepada seluruh karyawan, pelanggan, dan community leader dalam menjalin hubungan baik dan merangkai program company relationship jangka panjang. Dalam kategori ini CSR, juga dijadikan sebagai momentum untuk merangkai stakeholder engagement baik secara internal (khususnya employee dan supply chain) maupun secara eksternal (khususnya dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat secara umum); (iii) strategic giving, memberikan bantuan sesuai dengan core competence bisnis dan konteks kebutuhan lokal.

Dalam konteks ini, yang kegiatan CSR yang disarankan bagi perusahaan rokok adalah memperhatikan kesejahteraan para pelaku bisnis rokok yang sangat panjang. Sejak petani tembakau dan cengkih sampai dengan penjaja rokok di pinggir jalan. Peningkatan taraf hidup mereka yang terlibat di dalamnya. Dan menerapkan suatu sistem pembagian keuntungan yang relatif adil.

Kedua, melakukan penilaian atas resistensi—baik yang potensial maupun yang sudah eksis—dari inisiatif pemberian bantuan oleh perusahaan. Penilaian ini dilakukan dengan memerhatikan: (i) proses seleksi atas upaya pemberian bantuan terbaik; (ii) upaya memperlebar mitra dengan kelompok lain dalam memberikan bantuan; (iii) upaya-upaya dan proses-proses perbaikan kinerja pemberian bantuan; (iv) perolehan dampak perbaikan dan perluasan pengetahuan. Empat “saringan” ini diperhatikan dengan saksama demi terwujudnya nilai sosial dan ekonomi baru: terjadi keseimbangan atau titik temu antara semakin tingginya manfaat sosial dalam kegiatan filantropi murni dan manfaat ekonomi dalam kegiatan bisnis murni.

Ketiga, mencari opportunity untuk melakukan collective action di sebuah wilayah operasi bersama mitra lain. Mitra di sini baik berupa perusahaan lain maupun beragam para pemangku kepentingan yang memiliki competitive context sesuai dengan canangan program yang hendak dijalankan. Dalam konteks ini disarankan bagi perusahaan rokok bekerja sama dengan perusahaan rokok lain untuk membangun unit-unti smoking area dan mengkampanyekan hanya boleh merokok pada smoking area tersebut. Hal ini sebagai konsekuansi bahwa rokok sebenarnya mengganggu bagi orang-orang disekitarnya. Sebab hal ini sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat yang bukan perokok.

Keempat, dengan penuh saksama melakukan jejak rekam (monitoring) dan mengevaluasi hasil. Temuan perolehan hal-hal unik yang mungkin berbeda sama sekali dengan langkah teks manajerial sebaiknya dijadikan sebagai input untuk perbaikan dan inovasi program tiada henti. Satu hal yang juga penting diperhatikan—kendati secara implisit sudah ditegaskan di muka, bahwa CSR juga membawa misi penyebaran nilai-nilai. Nyaris semua perusahaan besar dibangun atas nilai-nilai universal pendirinya dan berbagai program CSR juga sedikit banyak mencerminkan keinginan penyebaran nilai-nilai para pendiri bangunan dan jaringan bisnis ini. Nilai-nilai seperti kemandirian, upaya membantu sesama, komitmen pada kebersihan dan kejujuran, semangat dan kerja keras, seni bertahan dan mengaktualisasikan diri, serta sejumlah cita-cita yang berhubungan dengan nilai-nilai citizenship, juga merupakan item yang harus diperhatikan dengan saksama dalam melakukan CSR.

Secara keseluruhan langkah-langkah di atas haruslah bermuara pada keseimbangan antara kontribusi sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan tentunya ditempatkan dalam kerangka upaya manajemen untuk meminimumkan dampak negatif rokok dan memaksimalkan dampak positif perusahaan rokok sesuai dengan bisnis yang dijalankan. Dan di sinilah titik temu makna tindakan CSR yang memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial dan sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi baik bagi masyarakat maupun perusahaan. Sepanjang keseimbangan ini dijaga dengan saksama, CSR bisa dipastikan diselenggarakan dengan penuh tanggung jawab.

 

Kesimpulan

Kegiatan CSR yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan perusahaan rokok merupakan sebuah strategi pemasaran dan strategi pengelabuan citra. Kegiatan CSR yang dilakukan bukan untuk meminimalisir dampak nigatif rokok yang berbahaya bagi kesehatan, namun kegiatan tersebut bertujuan untuk menarik simpati sosial. Kegiatan ini efektif dilakukan untuk mendongkrak keuntungan perusahaan rokok. Seharusnya CSR perusahaan rokok dilakukan untuk meminimalisir bahaya rokok, dengan setidaknya menggunakan langkah-langkah strategis yang dikemukakan di atas. Dengan demikian akan ditemukan titik temu antara makna tindakan CSR yang memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial dan sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi baik bagi masyarakat maupun perusahaan. Sepanjang keseimbangan ini dijaga dengan saksama, CSR bisa dipastikan diselenggarakan dengan penuh tanggung jawab.

 

Makalah ini merupakan intisari dari beberapa tulisan
( dengan perubahan dan tambahan) :
 Jalal, A
Lingkar Studi CSR / A+ CSR Indonesia
Download dari  : www.csrindonesia.com
*) Digunakan untuk tugas makalah ketika saya menempuh studi S-2 Tahun 2008